Kamis, 04 Februari 2010

Program Car Free Day ..

Program Car Free Day ..
Rubrik: Wacana: Ruang Pegawai - SKPD: Badan Lingkungan Hidup


PELAKSANAAN Program car free day ternyata mampu menurunkan salah satu kadar zat pencemar Corbon monoksida (dengan rumus kimianya CO) di udara secara drastis. Pada pengukuran udara ambien di jalan Darmo pada tanggal 24 Agustus 2008 jam 07.45 – 10.30 (pada saat pelaksanaan program tersebut) yang dilakukan oleh Laboratorium Balai Besar Teknik Kesehatan Lingkungan dan Pemberantasan Penyakit Menular terlihat bahwa pada analisa laboratorium untuk paramenter gas CO menujukkan angka dibawah limit deteksi 0,10 ppm ( artinya tidak terdeteksi). Kalau dibandingkan pengukuran udara ambien pada tanggal 28 Agustus 2008 (hari biasa) di jalan Raya Darmo pada lokasi pantau yang sama menunjukkan hasil analisa laboratorium sebagai berikut : Kadar CO di dekat Museum Mpu Tantular menunjukkan angka 22 ppm, Kadar CO di depan Rumah Sakit Darmo menunjukkan angka 15 ppm, sedangkan Kadar CO di dekat lampu merah Jln. Raya Darmo (perempatan Jl. Dr Soetomo) menunjukkan angka 30 ppm. Hal ini membuktikan, penyebab utama pencemar udara dari gas Carbon monoksida berasal dari lalu lintas kendaraan yang padat pada hari biasa di jalan Raya Darmo. Carbon monoksida merupakan senyawa yang tidak berbau, tidak berasa dan pada suhu udara normal berbentuk gas yang tidak berwarna. Tidak seperti senyawa lain, CO mempunyai potensi bersifat racun yang berbahaya karena mampu membentuk ikatan yang kuat dengan pigmen darah yaitu haemoglobin menjadi Carboxyhemoglobin, jika pada konsentrasi tertentu terhirup oleh paru paru. Polusi udara oleh Carbon monoksida (CO) Gas carbon monoksida (CO), merupakan salah satu polutan yang sering dijumpai dalam udara di sekitar aktivitas manusia. Gas tersebut berbahaya bagi manusia karena efeknya mempunyai efek negatif terhadap kesehatan, gas CO dapat menggeser oksigen yang terikat pada haemoglobin (Hb) menjadi COHb. CO adalah gas yang mudah terbakar,tidak berwarna dan tidak berbau. CO ada dimana mana di sekitar lingkungan kita, diproduksi oleh pembakaran yang tidak sempurna. Carbon monoksida dihasilkan dari pembakaran tidak sempurna dari bahan bakar fosil. Standar utama untuk udara ambien dari Carbon monoksida adalah 9 ppm untuk rata-rata waktu 8 jam, dan 35 ppm untuk standar waktu 1 jam, sedangkan WHO merekomendasikan sebagai berikut, a. 100 mg/m3 (87 ppm) selama 15 menit b. 60 mg/m3 (52 ppm) selama 30 menit a. 30 mg/m3 (26 ppm) selama 1 jam b. 10 mg/m3 (9 ppm) selama 8 jam Pencemaran CO di jalan raya paling banyak disebabkan oleh gas buang kendaraan bermotor. Konsentrasi karbon monoksida harus tidak melebihi 9 ppm selam 8 jam berturut-turut dan tidak boleh melebihi 20 ppm dalam periode waktu 1 jam. Sedangkan menurut ketentuan baku mutu udara ambien pada Peraturan Gubernur Jawa Timur nomor 39 tahun 2008 tentang Baku mutu kualitas udara ambien dan Emisi sumber tidak bergerak di Jawa Timur untuk parameter gas CO kadar maksimal adalah 20 ppm. Pada pengukuran kualitas udara ambien di jalan Raya Darmo kadar CO tertinggi terjadi pada lokasi di dekat lampu merah perempatan Jl. Dr. Soetomo yaitu 30 ppm, hal ini kemungkinan disebabkan adanya penumpukan kendaraan bermotor yang terjadi pada saat lampu merah sehingga kadar CO meningkat. Pemakaian masker pada pengendara sepeda motor sangat dianjurkan untuk menghindari kejadian keracunan akibat gas CO yang terhirup di udara. Toksisitas karbon monoksida Di laporkan banyak terjadi keracunan CO setiap tahunnya berupa kasus kematian dan sakit berat, baik di dalam rumah/garasi mobil maupun pencemaran udara oleh gas buang industri. Kasus yang dilaporkan bahwa keracunan CO gejalanya mirip sakit flu. Kasus toksisitas CO ini sebenarnya masih banyak. Keracunan akibat gas CO ini sangat fatal sehingga disebut “silent killer”, hal ini karena gas CO tidak berbau, tidak berwarna dan sangat toksik, jika terhirup pada konsentrasi tertentu akan menyebabkan kematian. Toksisitas gas CO bisa pula bersifat kronis, akibat dari menghirup udara yang mengandung kadar CO rendah (5-6 ppm) tetapi berlangsung dalam waktu yang lama dan terus menerus, sehingga kandungan CO dalam darahnya juga rendah. Hal tersebut dapat berlangsung berhari-hari, bulan, bahkan bertahun-tahun. Gejala yang ditimbulkan dari efek toksisitas kronis ini adalah: sakit kepala, pening, berkunang-kunang, lemah, ngilu persendian, mual dan muntahmuntah, sesak nafas terutama waktu berolah raga, bingung dan susah berfikir, tachycardia, dan gangguan penglihatan. Toksisitas kronis akibat gas CO ini sulit di diagnosis terutama oleh dokter atau tenaga medis yang belum berpengalaman. Kadang dilihat dari gejalanya didiagnosis sebagai infeksi penyakit viral atau bakterial pada paru atau gastro-intestinal atau syndrom lainnya. Gejala yang mirip tersebut sering terjadi pada satu individu dan gejala tersebut dapat menurun kemudian menghilang dengan sendirinya pada saat polusi pada lingkungan tersebut telah menurun atau hilang. Mekanisme toksisitas CO Bentuk molekul carbon monoksida adalah satu atom oksigen menempel pada satu atom karbon. Bila carbon monoksida ada didalam udara dimana udara tersebut dihirup oleh orang maka molekul tersebut masuk kedalam saluran nafas terus kedalam paru-paru dan kemudian akan menempel pada haemoglobin darah (COHb). Lebih kurang 80 % - 90 % dari jumlah CO yang diabsorbsi berikatan dengan hemoglobin, membentuk carboxyhemoglobin (HbCO). HbCO menyebabkan lepasnya ikatan oxyhemoglobin dan mereduksi kapasitas transport oksigen dalam darah. Ikatan CO dengan Hb tersebut sangat kuat yaitu sekitar 250 kali lebih kuat daripada ikatan Hb dengan oksigen (O2). Di dalam paru, CO terikat dengan sel darah merah pada tempat dimana oksigen biasanya terikat. Darah membawa sel darah yang didistribusikan kesemua jaringan, tetapi dia tidak dapat mendistribusikan O2, sehingga jaringan akan kekurangan O2. Jaringan biasanya menerima suplai oksigen dari darah tersebut, tetapi pada kasus toksisitas CO ini dapat menyebabkan jaringan tidak menerima oksigen sama sekali. Hal tersebut menyebabkan sel dalam jaringan tersebut tersebut akan mati (nekrosis). Gejala klinis Gejala toksisitas CO erat hubungannya dengan jaringan yang paling banyak mengkonsumsi oksigen terutama pada otak dan jantung. Pada penderita yang kandungan COHb nya 1% tidaklah menunjukkan gejala apa-apa., pada kandungan 10-20% mulai menimbulkan gejala. Pada individu yang menderita gangguan jantung sangat beresiko tinggi terhadap keracunan CO, karena jantung tidak dapat beradaptasi cepat pada saat kekurangan O2. Hal tersebut disebabkan karena kebutuhan otot jantung (myocard) terhadap O2 tidak terpenuhi. Pada orang normal saat menghirup CO pada waktu singkat memperlihatkan aliran darah kedalam myocard meningkat cepat sehingga suplai oksigen dapat diperoleh dengan cepat. Sedangkan pada penderita penyakit jantung hal tersebut tidak terjadi, sehingga jantung dapat langsung berhenti berdenyut. Paparan dari karbon monoksida menghasilkan hypoxia pada jaringan. Hypoxia menyebabkan efek pada otak dan perkembangan janin. Efek pada sistem kardiovaskuler terjadi pada HbCO kurang dari 5 % ( WHO,1996). Efek Toksik Kombinasi dari penurunan kapasitas oksigen yang dibawa dalam darah, merusak pelepasan oksigen ke jaringan dan mempengaruhi proses oksidasi intraselular yang menyebabkan hypoxia jaringan merupakan proporsi antara HbCO jenuh dan kebutuhan oksigen. Otak, system cardiovascular, kelenturan otot skeletal, dan perkembangan janin adalah jaringan yang paling sensitive terhadap hypoxia. Dengan demikian toksik efek berhubungan dengan fungsi neurobehavioural, kapasitas latihan cardiovascular, dan efekefek pada pertumbuhan. Seorang peneliti menemukan bahwa, anjing yang terpapar 100 ppm karbon monoksida selama 5,75 jam/hari, selama 6 hari perminggu untuk waktu 11 minggu menunjukkan tidak ada perubahan elektroenchephalographic tetapi menunjukkan kegagalan psychomotor dan kerusakan cerebral corteal yang cenderung diikuti kerusakan jalan pembuluh darah. Lebih lanjut paparan karbon monoksida dapat mereduksi kapasitas penampilan aktifitas fisik pada level diatas 2,5 %. Orang dengan penyakit arteri coronary sangat sensitif terhadap karbon monoksida. Jaringan yang paling mudah mengalami kerusakan oleh gas CO adalah otak dan miokardium (otot jantung) karena kedua jaringan ini mengkonsumsi oksigen paling banyak. Kelainan serebral ataupun miokardial yang sudah ada sebelumnya merupakan faktor predisposisi terjadinya akibat-akibat merugikan pada kadar yang tidak menimbulkan gangguan pada orang normal. Gas CO juga memegang peranan penting sebagai penyebab aterosklerosis. Timbunan kolesterol dalam aorta pada kelinci semakin dipercepat oleh anoksia akibat menurunnya tekanan parsial O2 atau akibat sedikit meningkatnya gas CO dalam atmosfer. Anoksia (kekurangan O2) akan meningkatkan permeabilitas dinding arteri terhadap protein serum kalau diukur dengan protein berlabel isotop. Paparan kronis terhadap gas CO kadar rendah dapat menimbulkan akibat yang bermakna pada pembuluh pembuluh arteri lewat keadaan hipoksia derajat ringan. Drh. Teguh Sumardijono (staf BPLH Kota Surabaya) []

Tidak ada komentar:

Posting Komentar